Jalan-jalan di Seram dan Ambon sambil mengenang Rumphius



Beberapa waktu lalu saya melakukan perjalanan melintasi Pulau Seram dari Bula hingga ke Waipirit. Perjalanan yang singkat ini meninggalkan kenangan indah, kebahagiaan tetapi juga keprihatinan yang mendalam.

Konversi Hutan Hujan menjadi Daerah Pertanian

Kabupaten Bula di sebelah timur Pulau Seram memiliki dataran yang cukup luas sehingga cocok untuk dijadikan sebagai daerah pertanian. Walaupun hamparan sawah di kedua sisi jalan menyuguhkan pemandangan yang memukau, secara pribadi saya kuatir bahwa daerah itu dulunya adalah tempat bertumbuhnya pohon-pohon sagu (Metroxylon rumphii) yang menjadi makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua di daerah pesisir. Begitu pula dengan daerah perkebunan kelapa sawit yang baru saja dibuka. Hal ini semakin memperkecil luas hutan hujan tropis di Seram Timur.

Sawah di Pulau Serag Maluku
Sawah di Seram Bagian Timur

Taman Nasional Manusela - Pabrik Spesies

Kebetulan saja bus yang saya tumpangi melewati kawasan Taman Nasional Manusela. Sopir busnya cukup berpengalaman. Tanjakan panjang di Manusela bisa dilalui dengan lancar meskipun kecepatan bus agak pelan. Hutan hujan tropis Pulau Seram yang kaya dengan ribuan spesies tumbuhan dan hewan bisa saya saksikan secara sepintas sambil duduk di dalam bus yang membawa saya ke Pulau Ambon.

Pada umumnya orang melihat hutan sebagai sesuatu yang menyeramkan. Tapi bagi para petualang dan pencinta alam, hutan adalah sahabat sejati yang perlu dipelihara dan dilindungi. Hutan di Pulau Seram memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sekali. Ada ratusan spesies burung termasuk beberapa di antaranya yang terancam punah seperti luri kepala hitam (Lorius domicella) dan Burung Mamoa atau Burung Gosong Maluku (Eulipoa walacei).

Burung Kasturi Tengkuk Ungu
Burung Kasturi Tengkuk Ungu (Lorius Domicella)

Naturalis Georg Eberhard Rumphius Semasa masih mahasiswa, saya tinggal di sebuah asrama yang bernama Rumphius di kawasan Poka, Pulau Ambon. Ini adalah sebuah asrama mahasiswa Katholik. Nama asrama itu tidak diambil dari nama santo-santa seperti yang umumnya dikenal oleh Gereja. Sebaliknya nama tersebut merupakan nama seorang naturalis Jerman, George Eberhard Rumphius, yang pernah melakukan penelitian terhadap tumbuh-tumbuhan, dan hewan yang ada di Ambon antara tahun 1657 hingga 1702. (hal ini saya ketahui setelah menonton 5 video wawancara antara Lynn Margulis dengan alm. Prof. E.M. Beekman tentang buku Ambonese Herbal yang diterjemahkan dari buku karya Rumphius yakni Herbarium Amboinense).

Jujur saja, ketika itu saya tidak memiliki informasi apa pun tentang Rumphius. Pernah, saya mencoba mencari tahu siapa itu Rumphius dengan membuka World Encyclopedia yang ada di perpustakaan asrama tapi tidak menemukan apa-apa. Ensiklopedi tua terbitan Amerika Serikat sekitar tahun 1945 tersebut tidak menyebutkan nama Rumphius dalam indeks G, E atau pun R.

Sekarang dengan adanya internet, informasi tentang Rumphius mulai terkuak. Minggu lalu senior saya, Rudi Fofid menggagas pembentukan Komunitas Rumphius di kota Ambon. Hal ini diumumkan di Facebook, sejumlah website dan beberapa surat kabar tentang Maluku. Rasa keingintahuan saya tentang Rumphius muncul lagi setelah membaca berita itu. Meskipun apa yang saya ketahui tentang Rumphius masih tergolong minim sekali, saya mulai menyadari bahwa karya-karya Rumphius begitu erat kaitannya dengan alam Maluku. Dia mencatat ribuan spesies tumbuhan dengan kegunaannya baik dari segi medis maupun ekonomis. Informasi ini sungguh berharga tidak hanya bagi VOC yang berdagang di Maluku ketika itu tetapi juga bagi kita semua yang hidup di zaman modern ini. Pengetahuan pengobatan tradisional yang dicatatnya dari para herbalis Maluku pada abad ke-17 tersebut, kini bisa kita pelajari lagi berkat buku Herbarium Amboinense.

Dari menonton 5 video tentang Rumphius di Youtube, ada beberapa hal baru yang mengejutkan saya, antara lain: Alfred Russel Wallace yang menjelajah nusantara dan menulis buku The Malay Archipelago, tidak pernah menyebut nama Rumphius. Kemungkinan besar Wallace tidak memiliki akses terhadap karya-karya Rumphius.

Georg Eberhard Rumpf adalah seorang ilmuan yang juga peka dengan kondisi sosial masyarakat Maluku. Pakar sejarah tentang Rumphius, yakni Prof. E.M. Beekman menyebutkan bahwa Rumphius membela masyarakat lokal dengan berani mengritik kebijakan VOC tentang perbudakan. Hal sensitif ini beserta dengan informasi penting mengenai manfaat medis tumbuh-tumbuhan (yang penting bagi monopoli dagang VOC) yang ditulisnya dalam Herbarium Amboinense bisa jadi merupakan alasan utama perusahaan dagang Belanda tersebut untuk tidak menerbitkannya.

Ketika manuscript Herbarium Amboinense tiba di Belanda, buku itu kemudian berpindah tangan ke seorang ahli botani yang bernama Johannes Burman. Karena ia adalah seorang intelektual yang kaya dan berpengaruh di Belanda maka ia bisa memperoleh manuscript tersebut dari tangan VOC. Pada tahun 1735, Carl Linnaeus berkunjung ke Belanda dan tinggal beberapa waktu lamanya di rumah Prof. Burman. Oleh karena itu Carl Linnaeus bisa memperoleh akses terhadap manuscript Herbarium Amboinense. Beekman mengatakan bahwa Carl Linnaeus mencatat (baca: menyontek) banyak sekali spesies tumbuhan yang telah dikumpulkan dan diidentifikasi oleh Rumphius. Catatan tersebut selanjutnya dijadikan acuan bagi Linnaeus untuk mengembangkan sistem klasifikasi serta tata nama hewan dan tumbuhan yang dewasa ini lebih dikenal dengan istilah taksonomi. Sayang sekali Linnaeus tidak menyebutkan Rumphius dalam karya-karyanya.

Pada 19 September 2011, karya Rumphius yang ditulis memakai bahasa Belanda tua dan Latin akhirnya diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yale University Press dengan judul The Ambonese Herbal berjumlah 6 volume. Buku ini mendapat Penghargaan Literatur 2012 dari Council on Botanical and Horticultural Libraries untuk kategori teknis.

Penghargaan itu sekali lagi menempatkan posisi Rumphius sebagai ilmuan penting yang patut dihormati oleh masyarakat intelektual dunia sekaligus memberi appresiasi yang tinggi terhadap alam Maluku yang kaya dengan spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jadi sudah sewajarnya jika kita semua bekerja keras untuk melestarikannya buat generasi sekarang maupun yang akan datang. Pelestarian flora dan fauna di Pulau Ambon memang sangat mendesak. Menurut Prof. Beekman separuh dari tumbuh-tumbuhan yang digambarkan oleh Rumphius dalam buku Herbarium Amboinense itu telah punah sebagai akibat dari konversi lahan hutan menjadi daerah pemukiman. Pulau Ambon yang kecil tersebut tidak memiliki tanah datar yang luas.

Catatan ringkas tentang Rumphius yang disajikan di atas sengaja saya buat untuk mengenang jasa-jasa Georg Eberhard Rumphius terhadap pengembangan ilmu pengetahuan alam. Bila suatu saat Anda berkunjung ke Ambon, jangan lupa mampir di Perpustakaan Rumphius yang terletak di dekat Gereja Katedral St. Fransiskus Xaverius atau bertemu dengan para pencinta alam dari Komunitas Rumphius.

Saya tinggal beberapa hari lamanya di Studio Radio Menamoria. Sebuah radio komunitas yang bertujuan untuk memupuk rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan orang Maluku yang di tahun 1999 hingga 2002 mengalami penderitaan yang luar biasa beratnya sebagai akibat dari konflik sektarian.

Kini Maluku telah menikmati kedamaian dan masyarakatnya tengah berjuang untuk membangun lagi daerahnya. Saya senang melihat berbagai perkembangan positif di sana tapi juga berharap bahwa kota yang indah ini tetap ramah terhadap lingkungan.

Ditulis oleh Charles Roring

Referens: